Sebuah kota kecil, Noiva do Cordeiro, Menas Gerais, Brasil, memiliki 600 orang penghuni yang seluruhnya adalah perempuan, yang menurut banyak kalangan memiliki paras yang cantik. Para perempuan warga kota ini berusia 20-35 tahun. Mereka kini merindukan kehadiran para pria lajang, yang bersedia tinggal di kota itu dengan aturan para perempuan.
Sperti yang dikutip dari Kompas.com, sebagian para perempuan ini memang sudah menikah. Namun, para suami mereka bekerja jauh dari kampung halamannya dan hanya boleh kembali pada akhir pekan.
Sementara itu, para anak laki-laki diminta meninggalkan kota itu saat berusia 18 tahun dan tak ada pria lain yang diizinkan tinggal di kota yang terletak di sebuah lembah terpencil, sekitar 96 kilometer dari kota Belo Horizonte.
Kota ini berdiri pada 1890-an, saat seorang perempuan muda bernama Maria Senhorinha de Lima dan keluarganya dikucilkan oleh gereja Katolik setempat karena dituduh berbuat zina.
Perlahan-lahan, semakin banyak perempuan lajang dan para ibu bergabung dengan komunitas itu. Pada 1940, seorang pendeta Anisio Pereira memperistri seorang perempuan muda berusia 16 tahun dan mendirikan gereja di komunitas itu.
Namun, pendeta Anisio kemudian menerapkan aturan ketat, yaitu melarang warga minum minuman keras, mendengar musik, memotong rambut, atau menggunakan alat kontrasepsi.
Ketika pendeta Anisio meninggal dunia pada 1995, para perempuan ini memutuskan untuk tidak lagi membiarkan pria mendikte kehidupan mereka. Salah satu hal pertama yang mereka lakukan adalah membubarkan organisasi keagamaan yang dianggap bias jender.
Kini, para perempuan yang berkuasa di kota kecil itu. Mereka mengerjakan semua hal sendiri, mulai dari bertani, merencanakan pembangunan kota, hingga ritual keagamaan.
Namun, warga Noive de Cordeiro menghadapi satu masalah utama, yaitu meski para perempuan ini berparas cantik, mereka kesulitan mencari pasangan hidup. Nelma Fernandes (23), salah seorang warga kota, mengakui mencari pasangan merupakan hal yang hampir mustahil untuk para perempuan kota ini.
“Di sini, pria yang bisa ditemui para gadis lajang jika tidak sudah menikah atau berkerabat dengan kami. Saya belum pernah mencium seorang pria,” kata Nelma.
“Kami semua bermimpi untuk jatuh cinta dan menikah. Namun, kami juga suka tinggal di sini dan tak mau meninggalkan kota hanya demi mencari suami,” lanjut dia.
Kekurangan pria lajang kini membuat komunitas para perempuan cantik itu mengajak para pria, yang tentu saja bersedia beradaptasi dengan dunia perempuan, untuk tinggal di kota kecil itu.
“Kami ingin tahu pria yang ingin meninggalkan kehidupan mereka dan menjadi bagian dari kami. Namun, pertama kali mereka harus setuju menuruti perintah kami dan hidup sesuai aturan kami,” kata Nelma.
Meski sudah lama membubarkan gereja yang dirintis pendeta Anisio, para perempuan kota ini merasa mereka tak pernah ditinggalkan Tuhan.
“Kami memiliki Tuhan di dalam hati kami. Namun, kami pikir kami tak perlu pergi ke gereja, menikah di hadapan pendeta, atau membaptis anak-anak kami. Semua adalah aturan yang dibuat para pria,” kata Rosalee Fernandes (49).
Rosalee yakin dalam banyak hal perempuan jauh lebih baik dibanding para pria. Dia mengatakan, di tangan para perempuan, kota Noiva do Cordeiro jauh lebih cantik, lebih terorganisasi, dan lebih tenteram dibanding jika kota itu dikelola para pria.
“Saat menghadapi masalah, kami memecahkan masalah dengan cara perempuan. Kami mencari konsensus dan bukan konflik,” lanjut Rosalee.
“Kami berbagi semua hal, bahkan tanah tempat kami bekerja. Tak ada kompetisi di antara kami. Semua dilakukan demi kebersamaan,” tambah dia.
Pada saat-saat senggang, para perempuan ini mengisinya dengan bergosip atau saling mencoba pakaian baru atau saling menata rambut.
“Bahkan, baru-baru ini kami patungan membeli TV layar lebar sehingga kami bisa menonton opera sabun bersama,” kata Rosalee.
Kehidupan di Noiva do Cordeiro memang menyenangkan dan nyaris tanpa kekurangan. Satu-satunya kekurangan yang dirasakan para perempuan itu adalah kehadiran para pria yang menyayangi mereka.