Film Indonesia, sejak awal kemunculannya sudah mengalami berbagai masa pasang surut. Sempat berjaya, ditandai dengan jumlah produksi film yang cukup banyak, serta munculnya nama-nama besar pembuat film Indonesia, tapi kemudian mati suri sampai awal 2000-an. Berdasarkan data yang dihimpun Johan Tjasmadi (2008, 151) dari Sinematek pada tabel dibawah ini, produksi film sempat mencapai masa puncak pada periode tahun 1970-an hingga awal 1990-an, kemudian selanjutnya merosot karena kalah bersaing dengan film impor.
Data tersebut bisa dilihat di grafik berikut yang diambil berdasarkan Katalog Film Indonesia 1926-2007 (JB Kristanto, 2007).
Ada berbagai faktor yang mendasari mengapa film Indonesia tidak pernah take off sebagai sebuah industri. Menurut Salim Said (1991, 18), karena tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia bukan menjadi bagian atau ekspresi pembuatnya. Maka dinamika yang ada di dalamnya hanyalah dinamika dagang, selalu berusaha untuk membuat barang yang paling disukai pembeli. Sepanjang sejarahnya, film di negeri ini senantiasa berputar di sekitar soal menebak selera penonton, tanpa pernah mempersoalkan dirinya sendiri.
Usmar Ismail pernah menyatakan bahwa, industri film yang mesti berputar terus, terpaksa memproduksi dengan tema yang pernah dibuat sebelumnya yang kemudian diubah di sana-sini. Meskipun penonton menginginkan cerita-cerita baru, tetapi kebanyakan pembuat film merasa takut untuk membuat sesuatu yang betul-betul baru dan karena itulah mereka mencari jalan yang aman dengan tetap memakai resep lama yang sudah diketahui akan sukses (Ismail 1986, 45).
Permasalahan ini salah satunya disebabkan oleh kenyataan bahwa industri film merupakan sebuah industri bermodal besar. Mira Lesmana menggambarkan hitung-hitungan kasar produksi dan keuntungan film sebagai berikut. Sebuah film dengan biaya produksi 4 miliar rupiah, jika film tersebut ditonton oleh kurang lebih satu juta penonton, maka pendapatan kotornya sekitar 25 miliar rupiah. Setelah dikurangi pajak tontonan serta pajak pendapatan, keuntungan bersih yang didapat hanya sekitar 3 miliar rupiah. Padahal tentu saja tidak semua film mampu menembus angka 1 juta penonton. Jika penonton hanya mencapai 100.000 atau pendapatan hanya sekitar 2 miliar rupiah, maka produsen akan merugi sekitar 3 miliar rupiah dengan ongkos produksi yang sama (Sasono dalam Kristanto 2007, viii-ix). Dengan hitung-hitungan yang demikian, maka akan sangat riskan membuat film yang ujung-ujungnya merugi atau tidak ditonton orang banyak.
Oleh karena itu, banyak pembuat film di Indonesia hanyalah pedagang. Mereka membuat film dengan hitungan komersial, dengan ongkos serendah-rendahnya, mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Ngga heran, dengan pemikiran seperti itu, bermunculanlah film-film horor porno semacam Air Terjun Pengantin, dan Hantu Pocong Perawan. Tidak peduli plot cerita yang menabrak logika sana-sini, yang penting pemainnya masih baru dan mau dibayar murah, lalu harus cantik dan seksi. Cerita pun dibuat seadanya yang penting tidak banyak berpindah lokasi. Tujuannya lagi-lagi menekan biaya.
Tapi tetap saja ada orang-orang yang ngga mau nyerah sama pemikiran malas macam pedagang film itu. Mereka yang mau mikir, gimana caranya membuat film bagus dan tetap bermutu. Para pembuat film ini berani bertaruh dengan biaya yang tidak sedikit, untuk membuat film yang tetap berkualitas. Hasilnya, bukan cuma diapresiasi di lokal, tapi bahkan sampai taraf internasional. Di antara sederet film-film Indonesia yang keren tersebut, berikut 17 film yang mendapat penghargaan dalam ajang internasional:
1. Daun di Atas Bantal (1998) | 2. Pasir Berbisik (2001) | 3.Berbagi Suami (2006) | 4. 3 Doa 3 Cinta (2008) | 5. Laskar Pelangi (2008) | 6. The Blind Pig Who Wants to Fly (2008) | 7. Sang Pemimpi (2008) | 8. Pintu Terlarang (2009) | 9. Merantau (2009) | 10. Rumah Dara (2009) | 11. Garuda di Dadaku (2009) | 12. Jamila dan Sang Presiden (2009) | 13. Madame X (2010) | 14. The Raid (2011) | 15. Dilema (2012) | 16. Modus Anomali (2012) | 17. Jalanan (2013)
Genrenya pun beragam, mulai dari film drama, action, horor sampai dokumenter. Pastinya gak cuma 17 film ini aja yang pernah diakui dunia. Masih banyak kok film Indonesia lain yang juga menerima award dan dipuji kritikus di luar sana.
Tapi jangan sampai kita, sebagai penonton film, justru malah terlalu cepat memberikan label buruk pada industri perfilman Indonesia dengan menganggap semua film Indonesia sampah dan murahan. Yang kayak gini kalo ngga didukung ya bakal sulit kemana-mana. Pemerintah mah jangan diharap. Ngga bakal jalan kalau nunggu pemerintah gerak.
Industri film akan tumbuh jika ekosistemnya berkembang dengan baik, dan semua elemennya tumbuh secara sehat. Salah satu stakeholder penting ya kita ini, penonton film Indonesia. Kalau ngaku suka film, dan bangga kalau ada film Indonesia yang berkualitas, ya harus didukung. Cara paling gampang, kalau ada film Indonesia yang bagus, yuk ditonton!