Pada suatu hari kepala bagian sandi datang membawa kawat dari Jakarta. Kawat Sandi yg dikirim oleh Menlu itu tidak menjelaskan apa2, hanya saya diminta datang ke Jakarta dan langsung menghadap Menlu Soebadrio.
Besoknya pagi2 saya ke Istana dan langsung menuju ke emper belakang dimana Bung Karno telah duduk bersama beberapa Menteri sambil minum2 dan mengobrol.
Sewaktu kami tinggal bertiga, mulailah diceritakan mengapa saya dipanggil ke Jakarta. Bapak Presiden mempunyai rencana yang pelaksanaannya akan dipercayakan kepada saya, dibanu oleh beberapa pejabat. Akhirnya Bung Karno bicara dan menjelaskan bahwa pemerintah mempunyai rencana untuk memperoleh Irian Barat dengan cara2 yang inkonvensional. Saya diperintahkan pergi ke Hong Kong dengan membawa uang kira2 US$ 1.000.000,- dan dengan uang itu harus bisa “membeli” Irian.
Dijelaskan pula bahwa BPI (Badan Pusat Intelejen) telah mempersiapkan segala sesuatunya. Di Hong Kong nantinya akan bertemu dengan seorang Belanda yang mewakili pihak sana dalam pembicaraan ini. Saya diberi kekuasaan untuk menawarkan sejumlah uang tetapi tidak melebihi darai yang ada pada saya untuk “Konpensasi” penggabungan Irian kepada Indonesia. |
Apa yang direncanakan adalah bahwa harus diusahakan, menyusun suatu resolusi oleh Nieuw Guinea Raad, dimana dinyatakan bahwa mereka ingin menggabungkan diri dengan Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, saya akan didampingi oleh Kartono Kadri, S.H. dari BPI dan Kombes Samsudin juga dari BPI. Ia secara resmi adalah Sekjen RI di Singapura.
Kami berangkat dari Singapura, Kartono S.H., Samsudin dan saya sendiri sebagai chief negotiator. Pertemuan pertama diadakan di Hotel Miramar, Kowloon. Pihak Indonesia terdiri dari dua orang, saya dan Kartono S.H, pihak Belanda Mr. De Rijke dan seorang sekretaris wanita. Tidak terdapat suasana tegang sama sekali. Karena maksud pertemuan ini telah diketahui sebelumnya, kami langsung menentukan acara:
1. Membicarakan resolusi penggabungan Papua dengan RI dan
2. Soal keuangan.
Ketika membicarakan penggabungan banyak juga tuntutan yang diajukan oelh Mr. De Rijke kepada saya, antara lain:
1. Infiltrasi tentara Indonesia supaya dihentikan. (jawaban: kalau Irian sudah bergabung dengan Indonesia tidak aka nada infiltrasi, sebab tidak lazim tentara mengadakan infiltrasi ke daerah sendiri)
2. Papua supaya dijadikan daerah istimewa (Jawaban: hingga kini daerah istimewa hanya ada dua. Harus ditentukan dengan undang-undang. Yang penting sekarang adalah membicarakan penggabungan dulu, soal daerah istimewa dapat dibicarakan nanti)
3. Missi dan zending jangan digangu (Jawaban: pasti tidak, karena Indonesia adalah Negara Pancasila)
4. Supaya Papua boleh memakai uang sendiri seperti Riau (Jawaban: Riau tidak memakai uang sendiri, tetapi untuk sementara memakai dollar Singapura.
5. Papua supaya boleh memakai bendera sendiri (Jawaban: tidak mungkin. Patak daerah mungkin)
Saya memperoleh mandat penuh dari Bung Karno mengenai redaksi, sehingga penyusunan konsep resolusi tidak memakan waktu yang terlalu lama. Isi pokok adalah bahwa Papua dan Indonesia mempunyai sejarah yang sama, sehingga sebaiknya berjalan bersama-sama dan oleh karena itu, Parlemen Papua sepakat untuk menggabungkan diri dengan Indonesia.
Teks ini kemudian dibawa ke Jakarta dan diserahkan kepada Menlu Soebandrio dan sekarang saya tidak tahu dimana konsep itu berada. Rundingan hari pertama kami tutup setelah tercapai kata sepakat mengenai isi Resolusi.
Pada pertemuan hari kedua, kami ngobrol-ngobrol dulu dalam bahasa Belanda, Sewaktu kami akan memasuki materi pokok, ialah membicarakan keuangan, Mr. De Rijke nyeletuk dalam bahasa jawa, supaya pembicaraan dilakukan dalam bahasa jawa saja agar sekretarisnya yang Belanda Totok itu tidak dapat mengerti apa yang sedang dirundingakan (Mr. De Rijke dilahirkan di Kediri sehingga mengerti bahasa jawa). Kami tidak keberatan dan mulailah tawar menawar dalam bahasa Jawa. De Rijke mulai dengan satu juta dollar sedangkan saya menawar luma ratus. Rundingan bolak-balik, maka tercapailah kata sepakat di angka US$ 750.000,- Setelah tercapai kata sepakat maka pembicaraan beralih lagi ke bahasa belanda bagaimana cara penyerahan uang itu.
Pada pokoknya saya minta uang itu saya serahkan melalui Bank yg dipilih Mr. De Rijke, setelah resolusi itu dikeluarkan oleh Parlemen Papua. Disini terjadi pembicaraan yang hangat sekali, karena ia menginginkan pembayaran dilakuakn sekarang juga sebelum resolusi keluar. Usul ini tidak dapat saya setujui, sehingga keluarlah tuduhan dan perkataan yang kurang enak. Mr De Rijke mengatakan bahwa ia tidak mempercayai orang-orang Indonesia karena orang Indonesia pintar berpolitik licik. Saya membalas dengan mengatakan bahwa saya pun tidak dapat percaya kepadanya, karena ia bersedia untuk menjual Papua. De Rijke tetap ngotot dengan mengatakan bahwa ia menanggung resiko yang besar sekali dan kalau diketahui maka ia bisa ditembak atau dibunuh.
Suasana menjadi hangat dan saya akhirnya mengusulkan untuk menunda pembicaraan, karena ingin memperoleh pandangan dari Presiden. Usul ini dengan susah payah disetujui karena menurut De Rijke ia tidak semudah itu keluar masuk Papua, takut juga jika ada yang curiga. Ia menggambarkan bahwa diantara anggota Parlemen cukup banyak yang pro Republik, tetapi belum cukup untuk meng goal kan resolusi yang direncanakan. Oleh karena itu ia memerlukan lobbying lagi dan memerlukan dana untuk beberapa anggota.
Akhirnya kami berpisah dan pertemuan tidak pernah dilanjutkan karena memang sulit mencapai titik temu. Persoalan diplomasi gelap ini hilang lenyap tidak berbekas dan Irian Barat diselesaikan melalui New York Agreement pada tanggal 15 agustus 1962. Keberhasilan perjuangan mengembalikan Irian Barat tidak lengkap kalau tidak disebut factor penunjang yang kuat sekali, yaitu Trikora.