Lelapnya tidurku terbangunkan oleh suara yang sudah lama tak kudengar, suara yang begitu indah yang sangat kurindukan, iya inilah suara burung-burung berkicau dengan merdu di pagi hari, suara yang sudah begitu lama tak kudengar lagi, karena daerah perkotaan tempat aku kuliah sudah jarang sekali terlihat pohon besar, semuanya itu telah ditebang untuk bedirinya gedung-gedung hingga tak ada lagi tempat bernaung untuk mahluk kecil nan indah ini.
Tinggal di kampung seperti ini seakan-akan mengembalikan semangat hidup yang lama hilang, perasaan begitu damai di dalam hati, tak terkekang oleh penatnya kehidupan seperti di kota, inilah yang saya butuhkan setelah begitu lama tidak memanfaatkan dengan baik liburan-liburan sebelumnya yang saya dapatkan.
Pagi yang indah ini nampaknya bertambah komplit lagi karena begitu saya bangun tidur, sudah tersedia segelas kopi dan beberapa potong pisang goreng di atas meja. Hmm... “what a wonderful morning...” kataku dalam hati.
Saya sangat menikmati pagi yang indah ini, minum kopi dan makan pisang goreng sambil menggendong si kecil Deanesha, keponakan saya yang baru 4 bulan. Saya senang sekali bermain dengan dia, kadang saya bawa ke pinggir pantai untuk melihat indahnya lautan dan ombak yang menerjang batu karang.
Nampaknya hari ini begitu cerah, kami berencana mengunjungi keluarga yang lain, yang tinggal di pulau Doom, pulau persis tepat berada di depan pelabuhan Sorong. Banyak juga keluarga kami yang tinggal disana di Tanjung Mangga.
Selesai minum kopi, saya pun mandi dan bersiap untuk pergi ke pulau Doom. Memang walaupun di siang hari seperti ini, alat transportasi darat berupa mobil angkutan umum di tempat ini belum ada. Sebenarnya kalau bisa dibilang sarana untuk jalur transportasi cukup bagus di daerah Tanjung Kasuari. Kami hanya bisa mengandalkan jasa tukang ojek, untuk mendapatkan akses menuju ke perkotaan.
Setelah kami semua sudah siap untuk berangkat, jam sudah hampir menunjukkan pukul 12 siang tengah hari, panasnya terik matahari mulai menyengat. Saya beserta kakak dan suaminya dengan kedua anaknya menunggu ojek di pinggir jalan raya. Kurang lebih 5 menit menunggu ada satu tukang ojek yang lewat, tapi kami harus menunggu dua lagi. Hampir setengah jam kami menunggu barulah 3 tukang ojek terkumpul dan siap untuk mengantar kami sampai ke pasar Boswesen.
Perjalanan dari Tanjung Kasuari menuju Pasar Boswesen memang lebih mudah ditempuh dengan ojek daripada Mobil, namun tidak sedikit yang pernah mengalami kecelakan ringan seperti jatuh dari motor karena tehambat dalam genangan lumpur atau jatuh karena tersandung batu. Memang medan yang dilalui begitu berat, jadi harus lebih berhati-hati melewatinya. Sesampainya di pasar Boswesen, kami melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum menuju halte Doom / Pelabuhan Doom. Kira-kira hanya membutuhkan waktu kurang dari 15 menit untuk sampai ke halte Doom. Dari halte Doom, kami harus menyebrang lagi menggunakan perahu johnson menuju pulau Doom. Waktu yang di tempuh ±20 menit menggunakan perahu ini hingga tiba di pasar Doom.
Di pasar Doom kami membeli pinang dan sirih, untuk sekedar oleh-oleh buat keluarga di Tanjung Mangga yang akan kami tuju. Pinang dan sirih begitu lekat dengan orang Papua, karena sudah menjadi tradisi menguyah pinang dan sirih. Bahkan tidak hanya orang dewasa, hingga anak-anak pun sudah melakukan hal ini karena sudah diajarkan semenjak kecil. Menguyah pinang dan sirih, memiliki khasiat yang baik untuk gigi, karena dapat memperkuat gigi dan membunuh bakteri dan kuman-kuman dalam mulut.
Dari pasar Doom kami harus menggunakan becak untuk mencapai Tanjung Mangga, memang bisa saja dilakukan dengan berjalan kaki tapi akan memakan waktu sekitar 30 menit. Jadi agar lebih efisien waktu dan tenaga serta melihat situasi kami membawa anak kecil dan bayi disini, saya rasa naik becak memang lebih mudah.
Di perjalanan kami bisa melihat perkembangan pulau Doom yang cukup lama tidak kami lihat. Banyak rumah-rumah yang dulunya belum ada, sekarang sudah semakin banyak berdiri di pulau ini. Memang pulau ini terbilang perkembangannya sudah bagus dibandingkan dengan pulau-pulau lain, karena akses untuk ke kota Sorong begitu dekat.
Tak lama kami sudah tiba di Tanjung Mangga, ada beberapa sanak saudara yang sudah melihat saya dari kejauhan tapi masih ragu, apakah ini benar saya atau bukan. Maklum sudah cukup lama juga saya tidak datang kesini. Keraguan itu buyar seketika ketika mereka melihat kakak saya, karena dia yang lebih sering ketemu atau datang berlibur kesini.
Peluk bahagia pun menyambut kedatangan kami disana karena sudah begitu lama tidak datang untuk bertemu sanak saudara disini. Banyak cerita suka duka yang kami bagi disini, mengobrol, bercengkrama, melepas rindu yang sudah lama terbendung. Momen-momen seperti ini memang tidak bisa terlupakan.